Categories

Trade Off Theory

Teori ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963 oleh Modigliani dan Miller dalam sebuah artikel American Economic Review 53 (1963, June) yang berjudul Corporate Income Taxes on the Cost of Capital: A Correction. Artikel ini merupakan perbaikan model awal mereka yang sebelumnya memperhitungkan adanya pajak perseroan (akan tetapi tetap mengabaikan pajak perorangan). Selanjutnya model tersebut dikenal dengan sebutan model MM-2 atau model MM dengan pajak perseroan (Brigham, and Ehrhardt, 2005:588-592). Dalam teori ini menjelaskan ide bahwa berapa banyak hutang perusahaan dan berapa banyak ekuitas perusahaan sehingga terjadinya keseimbangan antara biaya dan keuntungan.

Teori ini menyatakan bahwa suatu perusahaan memiliki tingkat hutang yang optimal dan berusaha untuk menyesuaikan tingkat hutang aktualnya ke arah titik optimal, ketika perusahaan tersebut berada pada tingkat hutang yang terlalu tinggi (overlevered) atau terlalu rendah (underlevered). Pada kondisi yang stabil, perusahaan akan menyesuaikan tingkat hutangnya kepada tingkat rata-rata hutangnya dalam jangka panjang.

Dari model MM-2, dapat dipetik dua hal utama yang berbeda dengan model MM-1 sebelumnya adalah (Brigham, and Ehrhardt, 2005:588-592):
  • Dalam model pertama, struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Dalam kenyataan, struktur modal mempunyai pengaruh positif terhadap nilai perusahaan: bertambahnya penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Dengan kata lain, pajak memberi manfaat dalam pendanaan yang berasal dari hutang, sebesar: Manfaat pajak dari penggunaan hutang diperoleh dari beban biaya bunga hutang yang dapat diperhitungkan sebagai elemen biaya yang mengurangi besaran laba kena pajak, sedangkan pembayaran dividen tidak dapat diperhitungkan sebagai elemen biaya. Jadi, perusahaan (seperti) menerima subsidi dari pemerintah atas penggunaan hutang untuk menambah modal.
  • Dengan adanya pajak perseroan, diperoleh dua manfaat penggunaan hutang yakni: hutang merupakan sumber modal yang lebih murah daripada ekuitas, dan biaya bunga menjadi elemen pengurang pajak. Dari model MM-1, diketahui bahwa penghematan dari penggunaan hutang yang lebih murah sepenuhnya digantikan oleh peningkatan biaya penggunaan ekuitas. Meskipun demikian, dalam situasi dengan adanya pajak perseroan, keuntungan yang diperoleh perusahaan dari penggunaan hutang lebih besar daripada peningkatan biaya ekuitas.
Ada hal-hal yang membuat perusahaan tidak bisa menggunakan hutang sebanyak banyaknya. Suatu hal yang terpenting adalah dengan semakin tingginya hutang, akan semakin tinggi kemungkinan kebangkrutan. Biaya tersebut terdiri dari 2 (dua) hal (Brigham dan Houstan, 2001:610) , yaitu :
  • Biaya Langsung yaitu, biaya yang dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi, atau biaya lainnya yang sejenis.
  • Biaya Tidak Langsung yaitu, biaya yang terjadi karena dalam kondisi kebangkrutan, perusahaan lain atau pihak lain tidak mau berhubungan dengan perusahaan secara normal. Misalnya Suplier tidak akan mau memasok barang karena mengkwatirkan kemungkinan tidak akan membayar.
Biaya lain dari peningkatan hutang adalah meningkatnya biaya keagenan antara pemegang hutang dengan pemegang saham akan meningkat, karena potensi kerugian yang dialami oleh pemegang hutang akan meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan. Pengawasan bisa dilakukan dalam bentuk biaya biaya monitoring dan bisa dalam bentuk kenaikan tingkat bunga.

Setiap perusahaan memiliki tingkat hutang yang berbeda-beda, tergantung pada jenis industrinya. Perusahaan perangkat lunak (software) memiliki target leverage yang berbeda dengan perusahaan manufaktur karena karakteristik aset kedua perusahaan ini berbeda. Perusahaan perangkat lunak memiliki proporsi aset tak berwujud yang lebih besar dibandingkan perusahaan manufaktur dalam bentuk lisensi atau paten, sehingga penilaian asetnya menjadi lebih sulit. Karena itu, umumnya perusahaan manufaktur memiliki tingkat hutang yang lebih tinggi daripada perusahaan perangkat lunak. Pendapat ini juga mendukung teori pecking order. Pada kasus lain, banyak perusahaan yang dibatasi oleh regulasi pemerintah dalam menentukan tingkat hutangnya. Perusahaan yang bergerak di bidang perbankan dibatasi oleh regulasi dalam menentukan tingkat hutangnya melalui penentuan CAR (capital adequacy ratio) oleh bank sentral.

Di sisi lain, tingkat hutang yang terlalu tinggi menyebabkan perusahaan memiliki risiko gagal bayar yang lebih tinggi. Permasalahan lain yang dapat timbul adalah perilaku substitusi aset berisiko lebih rendah kepada aset-aset berisiko tinggi. Perilaku ini timbul karena kerugian atas aset-aset berisiko tersebut berdampak lebih besar terhadap debtholders, bukan pemegang saham. Underinvestment juga merupakan perilaku yang mungkin timbul, dimana manajer akan melepaskan peluang-peluang investasi menguntungkan yang dimilikinya karena keuntungan dari investasi tersebut dinikmati lebih besar oleh debtholders, sehingga mengakibatkan pengalihan kesejahteraan dari pemegang saham kepada debtholders. Ketiga masalah ini menyebabkan biaya pendanaan yang lebih tinggi ketika perusahaan memiliki tingkat hutang yang terlalu besar. Tingkat hutang yang optimal adalah ketika keuntungan dari hutang sebanding dengan biaya yang ditimbulkannya.