Secara
bahasa, kata Tasbîh berasal dari kata kerja Sabbaha Yusabbihu yang maknanya
menyucikan. Dan secara istilah, kata Tasbîh adalah ucapan سُبْحَانَ اللهِ
. Ucapan ini merupakan dzikir kepada Allah yang merupakan ibadah yang agung.
Dalam
hal ini, terdapat banyak kaidah di dalamnya dimana secara global dapat
dikatakan bahwa setiap kaidah yang digunakan untuk menolak perbuatan bid’ah dan
berbuat sesuatu yang baru di dalam agama, maka ia adalah kaidah yang cocok
untuk diterapkan pula pada beberapa parsial (bagian) penyimpangan di dalam
berdzikir dan berdoa, karena dzikir, demikian juga doa, adalah murni masalah
‘ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Sedangkan kaidah dari semua kaidah di dalam hal
tersebut adalah bahwa semua ‘ibadah bersifat tawqîfiyyah, yang diformat dalam
ungkapan, “Melakukan ibadah hanya sebatas nash dan sumbernya.”
Kalimat tersebut direduksi dari nash-nash yang beragam, diantaranya hadits shahih yang menyatakan bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,
Kalimat tersebut direduksi dari nash-nash yang beragam, diantaranya hadits shahih yang menyatakan bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
yang melakukan sesuatu yang baru di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang
tidak terdapat di dalamnya, maka ia tertolak.”
Dan
hadits shahih yang lainnya bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam
bersabda,
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Setiap
sesuatu yang baru (diada-adakan) maka ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat dan setiap kesesatan (tempat pelakunya) adalah di neraka.”
Oleh
karena itu, hendaknya kita berhati-hati di dalam melakukan suatu bentuk ibadah
dan harus selalu mengacu kepada dalil-dalil yang jelas dan shahih serta kuat
yang terkait dengannya sebab bila tidak, maka dikhawatirkan amal yang dilakukan
tersebut justeru menjerumuskan pelakunya ke dalam hal yang disebut dengan
Bid’ah tersebut sekalipun dalam anggapannya hal tersebut adalah baik.
Tentunya,
di dalam kita melakukan apapun bentuk ibadah, termasuk dalam hal ini, dzikir,
harus mengikuti (mutaba’ah) kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam
sehingga kita tidak menyimpang dari manhaj yang telah digariskannya.
Perlu diketahui bahwa mutâba’ah tersebut tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara:
Perlu diketahui bahwa mutâba’ah tersebut tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara:
Pertama,
sebab
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak).
Contoh: ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam (dinaikkkan ke atas langit). Shalat tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini – yaitu: ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah namun sebenarnya adalah bid’ah.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak).
Contoh: ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam (dinaikkkan ke atas langit). Shalat tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini – yaitu: ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah namun sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua,
jenis
Artinya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima.
Contoh: seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan qurban yaitu onta, sapi dan kambing.
Artinya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima.
Contoh: seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan qurban yaitu onta, sapi dan kambing.
Ketiga,
kadar (bilangan)
Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan raka’atnya.
Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak shah.
Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan raka’atnya.
Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak shah.
Keempat,
kaifiyyah (cara)
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhu’nya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syar’ait.
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhu’nya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syar’ait.
Kelima,
waktu
Apabila ada orang menyembelih binatang qurban pada hari pertama bulan dzul hijjah, maka tidak shah karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Misalnya, ada orang yang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid’ah karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai qurban, denda haji dan ‘aqiqah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam idul Adhha adalah bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Apabila ada orang menyembelih binatang qurban pada hari pertama bulan dzul hijjah, maka tidak shah karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Misalnya, ada orang yang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid’ah karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai qurban, denda haji dan ‘aqiqah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam idul Adhha adalah bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam,
tempat
Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak shah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushallla di rumahnya, maka tidak shah I’tikafnya karena empat melakukannnya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at.
Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak shah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushallla di rumahnya, maka tidak shah I’tikafnya karena empat melakukannnya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at.
Contoh
lainnya: seseorang yang melakukan thawaf di luar masjid haram dengan alasan
karena di dalam sudah penuh sesak, thawafnya tidak shah karena tempat melakukan
thawaf adalah dalam baitullah tersebut, Allah berfiman: “dan sucikanlah
rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf”. (Q.S. al-Hajj: 26).
Terkait
dengan kajian hadits kali ini, tema yang kami angkat adalah masalah keutamaan
Tasbih, yaitu ucapan seperti yang disebutkan dalam hadits di bawah ini, dan
lafazh semisalnya yang terdapat di dalam hadits-hadits yang lain.
Lafazh Tasbih dalam hadits kita kali ini, bukanlah satu-satunya lafazh yang memiliki nilai amal yang tinggi, ada lagi lafazh-lafazh yang lainnya yang bisa di dapat di dalam buku-buku tentang dzikir atau bab-bab tentang dzikir dalam kitab-kitab hadits.
Lafazh Tasbih dalam hadits kita kali ini, bukanlah satu-satunya lafazh yang memiliki nilai amal yang tinggi, ada lagi lafazh-lafazh yang lainnya yang bisa di dapat di dalam buku-buku tentang dzikir atau bab-bab tentang dzikir dalam kitab-kitab hadits.
Dzikir
kita kali ini adalah dzikir yang terdapat di dalam hadits yang shahih dan telah
disebutkan kapan waktunya, yaitu bisa dilakukan setiap hari namun tidak
disebutkan lebih lanjut kapan tepatnya, sehingga dapat dikategorikan mengenai
waktu yang tepatnya ini ke dalam dzikir yang mutlak alias kapan saja, di luar
dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktunya.
Semoga
kita dapat memaknai, menghayati dan mengamalkannya sehingga tidak luput dari
pahala yang sedemikian besar ini. Amin.
Naskah
Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَالَ سُبْحَانَ
اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ ِمائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ
مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ .
Dari
Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa
Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan ‘Subhânallâhi Wa Bihamdihi’ di
dalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya akan dihapus semua dosa-dosa
(kecil)-nya sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR.al-Bukhariy)
Faedah
Hadits
1. Hadits
diatas menyatakan keutamaan dzikir سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
(Subhânallâhi wa bihamdihi) yang mengandung makna Tasbih (penyucian) terhadap
Allah Ta’ala dan penyucian terhadap-Nya pula dari hal-hal yang tidak layak dan
pantas bagi-Nya, seperti memiliki kekurangan-kekurangan, cacat-cela dan
menyerupai semua makhluk-Nya.
2. Hadits
tersebut juga mengandung penetapan segala pujian hanya kepada-Nya baik di dalam
Asma` maupun shifat-Nya. Dia-lah Yang Maha Hidup sesempurna hidup; kehidupan
yang tiada didahului ketiadaan (yakni bukan dalam arti; sebelumnya tidak ada
kehidupan lalu kemudian ada) dan tiada pula kehidupan itu akan pernah
hilang/sirna.
3. Barangsiapa
yang bertasbih kepada Allah dan memuji-Nya sebanyak seratus kali di dalam
sehari semalam, maka dia akan mendapatkan pahala yang maha besar ini. Yaitu,
semua dosa-dosa (kecil)-nya dihapuskan dengan mendapatkan ma’af dan
ampunan-Nya, sekalipun dosa-dosa tersebut sebanyak buih di lautan. Tentunya,
ini merupakan anugerah dan pemberian yang demikian besar dari-Nya.
4. Para
ulama mengaitkan hal ini dan semisalnya sebatas dosa-dosa kecil saja sedangkan
dosa-dosa besar tidak ada yang dapat menghapus dan menebusnya selain Taubat
Nashuh (taubat dengan sebenar-benarnya).
5. Imam
an-Nawawiy berkata, “Sesungguhnya bila dia tidak memiliki dosa-dosa kecil, maka
semoga diharapkan dapat meringankan dosa-dosa besarnya.”
Rujukan:
1. Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Jld.VI, Hal.409)
2. Tashhîh ad-Du’â’ karya Syaikh Bakr Abu Zaid, Hal. 39
3. Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
1. Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Jld.VI, Hal.409)
2. Tashhîh ad-Du’â’ karya Syaikh Bakr Abu Zaid, Hal. 39
3. Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
By : From Anysource