عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ- رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ : » إِنَّ اللهَ
تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ
إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ
عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ
كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ
الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ،
وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَُّّه « رواه البخاري
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu
'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘
Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka
sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba
bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepada-Ku dengan sesuatu, yang
lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya, dan senantiasalah
hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku
mencintainya; bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang
digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk
melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang
digunakannya untuk berjalan; jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan
memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan
melindunginya”. (H.R.al-Bukhâriy)
Riwayat Singkat Periwayat Hadits
Dia
adalah sayyid al-Huffâzh, seorang shahabat yang agung, Abu Hurairah
radhiallaahu 'anhu . Mengenai nama aslinya, demikian pula dengan nama ayahnya
banyak sekali pendapat tentang hal itu dan masih diperselisihkan oleh para
ulama. Namun pendapat yang paling rajih/kuat, bahwa namanya adalah ‘Abdurrahman
bin Shakhr ad-Dausiy. Beliau masuk Islam pada tahun penaklukan Khaibar, yakni
permulaan tahun 7 H.
Imam adz-Dzahabiy berkata: “Dia banyak menimba ilmu yang baik dan penuh berkah dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Tidak ada orang yang mendapatkan kelebihan seperti itu seperti dirinya. Juga, tidak ada orang yang lebih banyak dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam darinya. Hal ini dikarenakan dirinya senantiasa ber-mulâzamah dengan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam (mengikuti beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dan bersama-sama dengannya). Hadit-hadits yang diriwayatkannya mencapai 5374 hadits”.
Imam al-Bukhâriy meriwayatkan dari Abu Hurairah juga bahwa dia berkata: “sesungguhnya kalian pernah berkata: ‘sesungguhnya Abu Hurairah banyak sekali meriwayatkan hadits dari Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Kalau begitu, kenapa orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan dari Rasulullah sebanyak yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah?’. Sesungguhnya saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin tersebut disibukkan oleh aktivitas jual-beli mereka di pasar-pasar, sementara aku senantiasa ber-mulâzamah dengan beliau untuk mengisi perutku. Jadi, aku bisa hadir manakala mereka tidak hadir dan aku ingat manakala mereka lupa. Demikian pula dengan saudara-saudaraku dari kaum Anshar, mereka sibuk mengurusi harta-harta perdagangan mereka sementara aku ini adalah seorang miskin yang terdaftar dalam deretan orang-orang miskin ash-Shuffah (sebutan buat kaum papa yang tinggal di masjid Nabawiy dimana ada suatu tempat khusus buat mereka-red) sehingga aku selalu tanggap dan mengingat manakala mereka lupa.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dari Abu Hurairah sendiri: “Sesungguhnya tidak akan ada seseorang yang membentangkan pakaiannya hingga aku menyelesaikan semua ucapanku ini, kemudian dia mengumpulkan pakaiannya tersebut (menempelkannya ke tubuhnya) melainkan dia telah menangkap semua apa yang aku katakan”. Lalu aku membentangkan kain diatasku hingga bilamana Rasulullah menyelesaikan ucapannya, aku telah mengumpulkannya (menempelkannya) ke dadaku, lantas aku tidak lagi lupa sedikitpun dari ucapan beliau tersebut.
Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H.
Catatan: Kisah ini menegaskan bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak berbicara karena dorongan hawa nafsu tetapi adalah karena wahyu yang diwahyukan kepadanya (Q.,s. 53/an-Najm: 3-4), maka ucapan beliau tersebut sudah pasti benar dan terjadi -atas izin Allah- serta keistimewaan semacam ini hanya dimiliki oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saja dan tidak dimiliki oleh siapapun setelah beliau. Disamping itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa para shahabat adalah generasi yang merupakan sebaik-baik abad dimana mereka selalu berlomba-lomba di dalam berbuat kebajikan apalagi dalam membenarkan dan melakukan suatu janji yang dijanjikan oleh Rasulullah yang sudah pasti benar dan terjadi. Banyak peristiwa yang menunjukkan hal itu, salah satunya adalah apa yang ditunjukkan oleh Abu Hurairah diatas. Jadi, tidak lebih dari itu. Wallahu a’lam -red).
Imam adz-Dzahabiy berkata: “Dia banyak menimba ilmu yang baik dan penuh berkah dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Tidak ada orang yang mendapatkan kelebihan seperti itu seperti dirinya. Juga, tidak ada orang yang lebih banyak dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam darinya. Hal ini dikarenakan dirinya senantiasa ber-mulâzamah dengan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam (mengikuti beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dan bersama-sama dengannya). Hadit-hadits yang diriwayatkannya mencapai 5374 hadits”.
Imam al-Bukhâriy meriwayatkan dari Abu Hurairah juga bahwa dia berkata: “sesungguhnya kalian pernah berkata: ‘sesungguhnya Abu Hurairah banyak sekali meriwayatkan hadits dari Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Kalau begitu, kenapa orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan dari Rasulullah sebanyak yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah?’. Sesungguhnya saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin tersebut disibukkan oleh aktivitas jual-beli mereka di pasar-pasar, sementara aku senantiasa ber-mulâzamah dengan beliau untuk mengisi perutku. Jadi, aku bisa hadir manakala mereka tidak hadir dan aku ingat manakala mereka lupa. Demikian pula dengan saudara-saudaraku dari kaum Anshar, mereka sibuk mengurusi harta-harta perdagangan mereka sementara aku ini adalah seorang miskin yang terdaftar dalam deretan orang-orang miskin ash-Shuffah (sebutan buat kaum papa yang tinggal di masjid Nabawiy dimana ada suatu tempat khusus buat mereka-red) sehingga aku selalu tanggap dan mengingat manakala mereka lupa.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dari Abu Hurairah sendiri: “Sesungguhnya tidak akan ada seseorang yang membentangkan pakaiannya hingga aku menyelesaikan semua ucapanku ini, kemudian dia mengumpulkan pakaiannya tersebut (menempelkannya ke tubuhnya) melainkan dia telah menangkap semua apa yang aku katakan”. Lalu aku membentangkan kain diatasku hingga bilamana Rasulullah menyelesaikan ucapannya, aku telah mengumpulkannya (menempelkannya) ke dadaku, lantas aku tidak lagi lupa sedikitpun dari ucapan beliau tersebut.
Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H.
Catatan: Kisah ini menegaskan bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak berbicara karena dorongan hawa nafsu tetapi adalah karena wahyu yang diwahyukan kepadanya (Q.,s. 53/an-Najm: 3-4), maka ucapan beliau tersebut sudah pasti benar dan terjadi -atas izin Allah- serta keistimewaan semacam ini hanya dimiliki oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saja dan tidak dimiliki oleh siapapun setelah beliau. Disamping itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa para shahabat adalah generasi yang merupakan sebaik-baik abad dimana mereka selalu berlomba-lomba di dalam berbuat kebajikan apalagi dalam membenarkan dan melakukan suatu janji yang dijanjikan oleh Rasulullah yang sudah pasti benar dan terjadi. Banyak peristiwa yang menunjukkan hal itu, salah satunya adalah apa yang ditunjukkan oleh Abu Hurairah diatas. Jadi, tidak lebih dari itu. Wallahu a’lam -red).
PENJELASAN
KEBAHASAAN
Ungkapan
: [Innallâha Ta’âla Qâla: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman] ; ini merupakan salah
satu redaksi Hadîts Qudsiy.
Ungkapan : [man ‘âdâ lî waliyyan: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku..] : terdapat variasi lafazh, diantaranya: “man âdzâ lî waliyyan” ; “man ahâna lî waliyyan faqad bârazanî bi al-Muhârabah” . Kata “al-Waliy” diambil dari kata al-Muwâlâh , makna asalnya adalah al-Qurb (dekat) sedangkan makna asal kata “al-Mu’âdâh” ( kata benda dari kata kerja ‘âdâ ) adalah al-Bu’d (jauh); Jadi, kata “al-Waliy” artinya orang yang dekat kepada Allah, melakukan keta’atan dan meninggalkan perbuatan maksiat.
Ungkapan : [faqad âdzantuhû bi al-Harb: maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya] : yakni maka sungguh Aku telah memberitahukan kepadanya bahwa Aku akan memeranginya sebagaimana dia memerangi-Ku dengan cara memusuhi para wali-Ku.
Ungkapan : [wa mâ taqarraba ilayya ‘abdî bisyay-in ahabbu ilayya mimmaf taradltuhû ‘alaihi: Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya] : manakala Dia Ta’ala menyebutkan bahwa memusuhi para wali-Nya berarti memusuhi-Nya, maka Dia juga menyebutkan setelah itu kriteria-kriteria para wali-Nya yang haram dimusuhi dan wajib loyal terhadapnya (dijadikan wali); yaitu bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan sarana yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya dimana sarana utamanya adalah melaksanakan farâ-idl (ibadah-ibadah wajib).
Ungkapan : [fa idzâ ahbabtuhû kuntu sam’ahu al-Ladzî yasma’u bihî, wa basharahu al-Ladzî yubshiru bihî, wa yadahu al-Latî yabthisyu bihâ wa rijlahu al-Latî yamsyî bihâ: bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan] : maksudnya adalah bahwa barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib yang diembankan kepadanya, kemudian menambahnya dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Allah akan mendekatkan dirinya kepada-Nya, meningkatkan derajat iman nya kepada derajat ihsân ; maka ketika itu, dia dalam beribadah kepada Allah menjadi selalu ber-murâqabah (menjadikan dirinya selalu di bawah pengawasan Allah) seakan-akan dia melihat-Nya. Karenanya pula, hatinya menjadi penuh oleh ma’rifat kepada Allah, mahabbah (mencintai)-Nya, mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, senang dekat dengan-Nya dan merindukan-Nya. Maka, jadilah orang yang sedemikian terisi ma’rifah kepada Allah di hatinya melihat-Nya dengan ‘ain bashîrah (pandangan batin)-nya; maka jika dia bicara, dia berbicara karena Allah, sesuai dengan yang diridlai oleh-Nya dan atas taufiq-Nya; jika mendengar, dia mendengar karena-Nya sesuai dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya; jika melihat, dia melihat karena-Nya sesuai dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiqNya dan jika memukul/melakukan kekerasan, maka dia memukul/melakukan kekerasan karena-Nya dalam hal yang diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya.
Ungkapan : [wa la-in sa-alanî la-u’thiannahû …: jika dia meminta kepadaKu niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepadaKu niscaya Aku akan melindunginya] : yakni bahwa orang yang dicintai dan dekat di sisi Allah memiliki kedudukan khusus yang konsekuensinya bila dia meminta sesuatu kepada-Nya, pasti akan Dia berikan untuknya; jika meminta perlindungan kepada-Nya dari sesuatu, pasti Dia melindungi dirinya darinya dan jika dia berdoa kepada-Nya, pasti Dia mengabulkannya; dengan demikian dia menjadi orang yang selalu terkabul doanya karena kemuliaan dirinya di sisi Allah.
Ungkapan : [man ‘âdâ lî waliyyan: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku..] : terdapat variasi lafazh, diantaranya: “man âdzâ lî waliyyan” ; “man ahâna lî waliyyan faqad bârazanî bi al-Muhârabah” . Kata “al-Waliy” diambil dari kata al-Muwâlâh , makna asalnya adalah al-Qurb (dekat) sedangkan makna asal kata “al-Mu’âdâh” ( kata benda dari kata kerja ‘âdâ ) adalah al-Bu’d (jauh); Jadi, kata “al-Waliy” artinya orang yang dekat kepada Allah, melakukan keta’atan dan meninggalkan perbuatan maksiat.
Ungkapan : [faqad âdzantuhû bi al-Harb: maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya] : yakni maka sungguh Aku telah memberitahukan kepadanya bahwa Aku akan memeranginya sebagaimana dia memerangi-Ku dengan cara memusuhi para wali-Ku.
Ungkapan : [wa mâ taqarraba ilayya ‘abdî bisyay-in ahabbu ilayya mimmaf taradltuhû ‘alaihi: Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya] : manakala Dia Ta’ala menyebutkan bahwa memusuhi para wali-Nya berarti memusuhi-Nya, maka Dia juga menyebutkan setelah itu kriteria-kriteria para wali-Nya yang haram dimusuhi dan wajib loyal terhadapnya (dijadikan wali); yaitu bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan sarana yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya dimana sarana utamanya adalah melaksanakan farâ-idl (ibadah-ibadah wajib).
Ungkapan : [fa idzâ ahbabtuhû kuntu sam’ahu al-Ladzî yasma’u bihî, wa basharahu al-Ladzî yubshiru bihî, wa yadahu al-Latî yabthisyu bihâ wa rijlahu al-Latî yamsyî bihâ: bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan] : maksudnya adalah bahwa barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib yang diembankan kepadanya, kemudian menambahnya dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Allah akan mendekatkan dirinya kepada-Nya, meningkatkan derajat iman nya kepada derajat ihsân ; maka ketika itu, dia dalam beribadah kepada Allah menjadi selalu ber-murâqabah (menjadikan dirinya selalu di bawah pengawasan Allah) seakan-akan dia melihat-Nya. Karenanya pula, hatinya menjadi penuh oleh ma’rifat kepada Allah, mahabbah (mencintai)-Nya, mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, senang dekat dengan-Nya dan merindukan-Nya. Maka, jadilah orang yang sedemikian terisi ma’rifah kepada Allah di hatinya melihat-Nya dengan ‘ain bashîrah (pandangan batin)-nya; maka jika dia bicara, dia berbicara karena Allah, sesuai dengan yang diridlai oleh-Nya dan atas taufiq-Nya; jika mendengar, dia mendengar karena-Nya sesuai dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya; jika melihat, dia melihat karena-Nya sesuai dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiqNya dan jika memukul/melakukan kekerasan, maka dia memukul/melakukan kekerasan karena-Nya dalam hal yang diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya.
Ungkapan : [wa la-in sa-alanî la-u’thiannahû …: jika dia meminta kepadaKu niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepadaKu niscaya Aku akan melindunginya] : yakni bahwa orang yang dicintai dan dekat di sisi Allah memiliki kedudukan khusus yang konsekuensinya bila dia meminta sesuatu kepada-Nya, pasti akan Dia berikan untuknya; jika meminta perlindungan kepada-Nya dari sesuatu, pasti Dia melindungi dirinya darinya dan jika dia berdoa kepada-Nya, pasti Dia mengabulkannya; dengan demikian dia menjadi orang yang selalu terkabul doanya karena kemuliaan dirinya di sisi Allah.
BEBERAPA
PELAJARAN DAN HUKUM TERKAIT
1. Melakukan
perbuatan-perbuatan ta’at baik yang wajib-wajib maupun yang sunnah-sunnahnya
dan menjauhi diri dari semua bentuk maksiat baik yang kecil maupun yang besar
akan membuat seorang hamba pantas menjadi salah seorang wali Allah yang
dicintai-Nya dan mencintai-Nya, Dia Ta’ala mencintai orang yang dicintai oleh
para wali-Nya, mengumumkan perang terhadap orang yang memusuhi, mengganggu,
membenci, memojokkan dan menghadang mereka dengan suatu kejahatan atau
gangguan. Allah-lah yang akan menolong dan membantu para wali-Nya tersebut.
2. Wajib
menunjukkan sikap loyal terhadap para wali Allah dan mencintai mereka serta
haram memusuhi mereka. Demikian pula, wajib memusuhi musuh-musuh-Nya dan haram
menunjukkan sikap loyal terhadap mereka. Allah berfirman: “…janganlah kamu
mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia…”. (Q.,s.
al-Mumtahanah: 1) , Dan firmanNya: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut
(agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Q.,s. al-Mâ-idah: 56)
Dalam kedua ayat tersebut, Allah memaparkan bahwa sifat dari orang-orang yang dicintai dan mencintai-Nya adalah bahwa mereka itu merasa hina dihadapan orang-orang beriman dan merasa bangga dan penuh percaya diri (‘izzah) dihadapan orang-orang Kafir.
Dalam kedua ayat tersebut, Allah memaparkan bahwa sifat dari orang-orang yang dicintai dan mencintai-Nya adalah bahwa mereka itu merasa hina dihadapan orang-orang beriman dan merasa bangga dan penuh percaya diri (‘izzah) dihadapan orang-orang Kafir.
3. Hadits
diatas juga menunjukkan bahwa para wali Allah ada dua macam:
Pertama, mereka yang bertaqarrub kepada-Nya dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib ; ini merupakan derajat kaum Muqtashidûn, Ashhâb al-Yamîn (orang-orang yang menempuh jalan yang lurus dan menjadi golongan kanan). Melaksanakan ibadah-ibadah wajib merupakan amalan yang paling utama sebagaimana diucapkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu : “seutama-utama amalan adalah melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah, menjauhi apa yang diharamkan-Nya serta niat yang jujur semata-mata mengharap ridla-Nya”.
Kedua, mereka yang bertaqarrub kepadaNya, disamping melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut, juga bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunnah dan keta’atan dan menghindari semua yang dilarang; hal-hal inilah yang memastikan seorang hamba mendapatkan mahabbah Allah (kecintaan dari-Nya) sebagaimana dalam sabda Rasulullah diatas: “dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepadaKu dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Pertama, mereka yang bertaqarrub kepada-Nya dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib ; ini merupakan derajat kaum Muqtashidûn, Ashhâb al-Yamîn (orang-orang yang menempuh jalan yang lurus dan menjadi golongan kanan). Melaksanakan ibadah-ibadah wajib merupakan amalan yang paling utama sebagaimana diucapkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu : “seutama-utama amalan adalah melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah, menjauhi apa yang diharamkan-Nya serta niat yang jujur semata-mata mengharap ridla-Nya”.
Kedua, mereka yang bertaqarrub kepadaNya, disamping melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut, juga bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunnah dan keta’atan dan menghindari semua yang dilarang; hal-hal inilah yang memastikan seorang hamba mendapatkan mahabbah Allah (kecintaan dari-Nya) sebagaimana dalam sabda Rasulullah diatas: “dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepadaKu dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
4. Orang
yang dicintai oleh Allah, maka Dia akan menganugerahinya mahabbah terhadap-Nya,
mena’ati-Nya, bergiat dalam berzikir dan beribadah kepada-Nya, menenteramkan
hatinya untuk selalu melakukan amalan yang dapat mendekatkan dirinya
kepada-Nya. Dengan anugerah itu, maka orang tersebut berhak menjadi orang yang
dekat dengan-Nya dan mendapatkan keberuntungan di sisi-Nya. Allah Ta’ala
berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut
terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.,s. al-Mâ-idah: 54).
5. Hal yang
paling penting dan menjadi tuntutan setiap hamba adalah mendapatkan mahabbah
dari-Nya sebab orang yang mendapatkannya maka dia akan mendapatkan dua
kebaikan; dunia dan akhirat. Sebagai seorang mukmin sejati yang sangat ingin
untuk menjadi salah seorang dari para wali Allah tentu berupaya mendapatkan
tuntutan yang amat berharga ini tetapi untuk merealisasikannya diperlukan
beberapa hal:
a. Melaksanakan
ibadah-ibadah wajib yang sudah diwajibkan oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang
terdapat dalam penggalan hadits diatas: “Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub
(mendekatkan diri dengan beribadah) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku
cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya”. Yaitu, dengan
membetulkan dan meluruskan at-Tauhîd, melaksanakan shalat wajib, zakat wajib,
puasa Ramadlan, haji ke Baitullah al-Haram, birr al-Wâlidain (berbakti kepada
kedua orangtua), menyambung rahim (silaturrahim), berakhlaq yang mulia seperti
jujur, dermawan, bertutur kata yang manis, tawadlu’ dan lain-lainnya.
b. Menjauhkan
diri dari hal-hal yang diharamkan, baik kecil maupun besar, dan dari apa saja
hal-hal makruh yang sebenarnya mampu dilakukannya.
c. Bertaqarrub
kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah mulai dari shalat, sedekah, puasa,
amalan-amalan kebajikan, dzikir, membaca al-Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan
lain-lainnya. Diantara yang patut disinggung berkenaan dengan ibadah-ibadah
tersebut adalah:
1.memperbanyak baca al-Qur’an diiringi dengan tafakkur dan renungan, mendengarnya diiringi dengan tadabbur dan pemahaman, menghafal ayat-ayatnya yang mudah, mengulang-ulanginya serta senantiasa menjaganya agar tidak lupa. Tentunya, tidak ada suatu ucapanpun yang lebih manis bagi para pencinta selain ucapan orang yang dicintainya; maka Kalamullah adalah lebih utama untuk dicintai karena memberikan kenyamanan tersendiri bagi hati mereka dan merupakan puncak dari sumua tuntutan mereka. Diantara sarana yang dapat membantu terlaksananya hal tersebut -disamping doa, tekad bulat dan keinginan keras- adalah konsistensi dalam membaca al-Qur’an sebanyak satu juz di dalam sehari semalam dan semampunya berupaya agar tidak lalai dari konsistensi tersebut.
2.memperbanyak dzikir kepada Allah Ta’ala baik melalui lisan maupun hati sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku (selalu) di sisi sangkaan (baik) hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku (selalu) bersamanya manakala dia mengingat-Ku; jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam diri-Ku; jika dia mengingat-Ku di hadapan khalayak (orang banyak), maka Aku mengingatnya pula di hadapan khalayak yang lebih baik dari mereka (malaikat)”. Allah berfirman: “…maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepadamu”.(Q.,s. al-Baqarah: 152)
1.memperbanyak baca al-Qur’an diiringi dengan tafakkur dan renungan, mendengarnya diiringi dengan tadabbur dan pemahaman, menghafal ayat-ayatnya yang mudah, mengulang-ulanginya serta senantiasa menjaganya agar tidak lupa. Tentunya, tidak ada suatu ucapanpun yang lebih manis bagi para pencinta selain ucapan orang yang dicintainya; maka Kalamullah adalah lebih utama untuk dicintai karena memberikan kenyamanan tersendiri bagi hati mereka dan merupakan puncak dari sumua tuntutan mereka. Diantara sarana yang dapat membantu terlaksananya hal tersebut -disamping doa, tekad bulat dan keinginan keras- adalah konsistensi dalam membaca al-Qur’an sebanyak satu juz di dalam sehari semalam dan semampunya berupaya agar tidak lalai dari konsistensi tersebut.
2.memperbanyak dzikir kepada Allah Ta’ala baik melalui lisan maupun hati sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku (selalu) di sisi sangkaan (baik) hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku (selalu) bersamanya manakala dia mengingat-Ku; jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam diri-Ku; jika dia mengingat-Ku di hadapan khalayak (orang banyak), maka Aku mengingatnya pula di hadapan khalayak yang lebih baik dari mereka (malaikat)”. Allah berfirman: “…maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepadamu”.(Q.,s. al-Baqarah: 152)
6. Bahwa
adalah bohong belaka bila ada pengakuan yang menganggap selain cara berbuat
keta’atan dan berloyalitas kepada Allah yang disyariatkanNya melalui lisan
Rasul-Nya, dapat menyampaikan seseorang kepada mahabbah Allah dan menjadi
wali-Nya sepertihalnya orang-orang Musyrik yang menyembah selain Allah dengan
anggapan bahwa mereka semata hanya ingin mendekatkan diri mereka kepada Allah
dengan cara tersebut sebagai yang dikisahkan oleh Allah tentang mereka dalam
firman-Nya (artinya):"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (Q.,s.az-Zumar:
3). Demikian pula, sebagai yang diceritakan oleh Allah berkenaan dengan orang-orang
Yahudi dan Nashrani, bahwa mereka berkata dalam firman-Nya (artinya) :
"Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". (Q.,s.
al-Mâ-idah: 18) padahal mereka ngotot mendustai para Rasul-Nya, melanggar
larangan-Nya serta meninggalkan kewajiban-kewajiban yang diembankan-Nya kepada
mereka.
Jadi, setiap orang yang menempuh selain jalan yang sudah disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan mencapai wilâyatullâh (kewalian yang dianugerahkan oleh Allah) dan mahabbah-Nya.
Jadi, setiap orang yang menempuh selain jalan yang sudah disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan mencapai wilâyatullâh (kewalian yang dianugerahkan oleh Allah) dan mahabbah-Nya.
7. Setiap
Muslim sangat menginginkan agar doanya dikabulkan, amalannya diterima,
permintaannya diberi serta mendapatkan perlindungan dari-Nya. Hal ini semua
adalah tuntutan yang amat berharga dan anugerah yang agung yang tidak akan
dapat dicapai kecuali oleh orang yang menempuh jalan menuju wilâyatullâh, yaitu
melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan-Nya plus ibadah-ibadah sunnah
seoptimal mungkin diiringi dengan niat yang tulus (an-Niyyah al-Khâlishah),
mengikuti Nabi serta berjalan diatas manhajnya (al-Mutâba’ah).
(Disadur dari tulisan berjudul asli: “Taqarrab yuhibbukallâh” karya Syaikh Nâshir asy-Syimâliy)
(Disadur dari tulisan berjudul asli: “Taqarrab yuhibbukallâh” karya Syaikh Nâshir asy-Syimâliy)
By : From Anysource