Banyak diantara umat Islam yang tidak menyadari bahwa
dirinya telah melakukan suatu perbuatan yang menyakiti orang lain lantas
membiarkan hal itu berlalu begitu saja tanpa meminta ma’af kepadanya atas
perbuatannya tersebut. Hal ini bisa disebabkan oleh ego yang terlalu tinggi,
menganggap hal itu adalah sepele, kurang memahami ajaran agamanya sehingga
tidak mengetahui implikasinya, dan sebagainya. Padahal sebenarnya amat
berbahaya dan akan membebankannya di hari Akhirat kelak karena harus
mempertanggungjawabkannya. Perbuatan tersebut tidak lain adalah kezhaliman.
Kezhaliman adalah sesuatu yang dibenci baik di muka bumi ini maupun di akhirat
kelak dan pelakunya hanyalah mereka yang menyombongkan dirinya.
Banyak bentuk kezhaliman yang berlaku di dunia ini, yaitu tidak jauh dari
definisinya ; “menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Betapa banyak
orang-orang yang seenaknya berbuat dan bertindak sewenang-wenang. Sebagai contoh:
Sang suami sewenang-wenang terhadap isterinya; memperlakukannya dengan kasar,
menceraikannya tanpa sebab, menelantarkannya dengan tidak memberinya nafkah
baik lahir maupun batin. Sang pemimpin sewenang-wenang terhadap rakyat yang
dipimpinnya; diktator, tangan besi, berhukum kepada selain hukum Allah, loyal
terhadap musuh-musuh Allah, tidak menerima nasehat, korupsi dan sebagainya.
Tetangga berbuat semaunya terhadap tetangganya yang lain; membuat bising
telinganya dengan suara tape yang keras dan lagu-lagu yang menggila, menguping
rahasia rumah tangganya, usil, membicarakan kejelekannya dari belakang, mengadu
domba antar tetangga dan yang juga banyak sekali terjadi adalah mencaplok
tanahnya tanpa hak, berapapun ukurannya. Dan banyak lagi gambaran-gambaran lain
yang ternyata hampir semuanya dapat dikategorikan “perbuatan zhalim” karena
“menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”.
Oleh karena itu, pantas sekali kenapa Allah mengecam dengan keras para
pelakunya dan bahkan mengharamkannya atas diri-Nya apatah makhluk-Nya.
Dan
pantas pula, ia (kezhaliman) merupakan tafsir lain dari syirik karena berakibat
fatal terhadap pelakunya.
Maka, bagi mereka yang pernah berbuat zhalim terhadap orang lain –
sebab rasanya sulit mendapatkan orang yang terselamatkan darinya sebagaimana
yang pernah disalahtafsirkan oleh para shahabat terkait dengan makna kezhaliman
dalam ayat “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q,.s. al-An’âm/6:
82). Mereka secara spontan, begitu ayat tersebut turun dan sebelum mengetahui
makna dari ‘kezhaliman’ yang sebenarnya berkomentar: “Wahai Rasulullah! siapa
gerangan diantara kita yang tidak berbuat zhalim terhadap dirinya?”. Tetapi,
pemahaman ini kemudian diluruskan oleh Rasulullah dengan menyatakan bahwa
maksud ayat tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya yang
lain: “Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar” (Q.,s.
Luqmân/31: 13) – maka hendaknya mereka segera meminta ma’af kepada yang
bersangkutan dan memintanya menghalalkan atas semua yang telah terjadi selagi
belum berpisah tempat dan sulit bertemu kembali dengannya serta selama masih di
dunia.
Hanya keterkaitan dalam kezhaliman terhadap sesama makhluk ini yang
tidak dapat ditebus dengan taubat sekalipun. Taubat kepada Khaliq berkaitan
dengan hak-hak-Nya; maka, Dia akan menerimanya bila benar-benar taubat nashuh
tetapi bila terkait dengan sesama makhluq, maka hal itu terpulang kepada yang
bersangkutan dan harus diselesaikan terlebih dahulu dengannya ; apakah dia
mema’afkan dan menghalalkan kezhaliman yang terlah terjadi atasnya atau tidak.
Untuk itu, umat Islam perlu mengetahui lebih lanjut apa itu
kezhaliman? apa implikasinya di dunia dan akhirat? bagaimana dapat terhindarkan
darinya? Perbuatan apa saja yang memiliki kaitan dan digandeng dengannya?.
Insya Allah, kajian hadits kali ini berusaha menyoroti permasalahan
tersebut, semoga bermanfa’at.
Naskah Hadits
1. عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: « الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ». متّفق عليه
Dari Ibnu ‘Umar
–radhiallaahu 'anhuma- dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
bersabda: “Kezhaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat”.
(Muttafaqun ‘alaih)
2. عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللّهِ أَنّ رَسُولَ اللّهَ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «اتَّقُوا الظُّلْمَ.
فَإِنّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَاتَّقُوا الشُّحَّ. فَإِنّ الشُّحَّ
أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ». رواه مسلم
Dari Jâbir bin ‘Abdillah bahwasanya
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “berhati-hatilah terhadap
kezhaliman, sebab kezhaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat.
Dan jauhilah kebakhilan/kekikiran karena kekikiran itu telah mencelakakan umat
sebelum kamu”. (H.R.Muslim)
Definisi kezhaliman (azh-Zhulm)
Kata “azh-Zhulm” berasal dari fi’l (kata kerja) “zhalama – yazhlimu”
yang berarti “Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Dalam hal ini sepadan
dengan kata “al-Jawr”.
Demikian juga definisi yang dinukil oleh Syaikh Ibnu Rajab dari
kebanyakan para ulama. Dalam hal ini, ia adalah lawan dari kata al-‘Adl
(keadilan)
Hadits diatas dan semisalnya merupakan dalil atas keharaman
perbuatan zhalim dan mencakup semua bentuk kezhaliman, yang paling besarnya
adalah syirik kepada Allah Ta’âla sebagaimana di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar”.
Di dalam hadits Qudsiy, Allah Ta’âla berfirman: “Wahai hamba-hambaku!
Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman terhadap diriku dan menjadikannya
diharamkan antara kalian”.
Ayat-ayat dan hadits-hadits serta atsar-atsar tentang keharaman
perbuatan zhalim dan penjelasan tentang keburukannya banyak sekali.
Oleh karena itu, hadits diatas memperingatkan manusia dari perbuatan
zhalim, memerintahkan mereka agar menghindari dan menjauhinya karena akibatnya
amat berbahaya, yaitu ia akan menjadi kegelapan yang berlipat di hari Kiamat
kelak.
Ketika itu, kaum Mukminin berjalan dengan dipancari oleh sinar
keimanan sembari berkata: “Wahai Rabb kami! Sempurnakanlah cahaya bagi kami”.
Sedangkan orang-orang yang berbuat zhalim terhadap Rabb mereka dengan perbuatan
syirik, terhadap diri mereka dengan perbuatan-perbuatan maksiat atau terhadap
selain mereka dengan bertindak sewenang-wenang terhadap darah, harta atau
kehormatan mereka; maka mereka itu akan berjalan di tengah kegelapan yang
teramat sangat sehingga tidak dapat melihat arah jalan sama sekali.
Klasifikasi Kezhaliman
Syaikh Ibn Rajab berkata: “Kezhaliman terbagi kepada dua jenis: Pertama,
kezhaliman seorang hamba terhadap diri sendiri :
Bentuk paling besar dan berbahaya dari jenis ini adalah syirik sebab orang yang
berbuat kesyirikan menjadikan makhluk sederajat dengan Khaliq. Dengan demikian,
dia telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Jenis berikutnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat dengan berbagai macamnya;
besar maupun kecil.
Kedua, kezhaliman yang dilakukan oleh
seorang hamba terhadap orang lain, baik terkait dengan jiwa, harta atau
kehormatan.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda ketika
berkhuthbah di haji Wada’ : “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian
diharamkan atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, di bulan haram
kalian ini dan di negeri (tanah) haram kalian ini”.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari Abu
Hurairah dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Barangsiapa
yang pernah terzhalimi oleh saudaranya, maka hendaklah memintakan penghalalan
(ma’af) atasnya sebelum kebaikan-kebaikannya (kelak) akan diambil (dikurangi);
Bila dia tidak memiliki kebaikan, maka kejelekan-kejelekan saudaranya tersebut
akan diambil lantas dilimpahkan (diberikan) kepadanya”.
Penyebab terjadinya
Ibnu al-Jauziy menyatakan: “kezhaliman mengandung dua kemaksiatan: mengambil
milik orang lain tanpa hak, dan menentang Rabb dengan melanggar ajaran-Nya… Ia
juga terjadi akibat kegelapan hati seseorang sebab bila hatinya dipenuhi oleh
cahaya hidayah tentu akan mudah mengambil i’tibar (pelajaran)”.
Barangkali, penyebabnya juga dapat dikembalikan kepada definisinya
sendiri, yaitu tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan hal ini terjadi
akibat kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama sehingga tidak mengetahui
bahwa :
·
Hal itu amat dilarang bahkan
diharamkan
·
Ketidakadilan akan menyebabkan
adanya pihak yang terzhalimi
·
Orang yang memiliki sifat
sombong dan angkuh akan menyepelekan dan merendahkan orang lain serta tidak
peduli dengan hak atau perasaannya
·
Orang yang memiliki sifat
serakah selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya sehingga
membuatnya lupa diri dan mengambil sesuatu yang bukan haknya
·
Orang yang memiliki sifat iri
dan dengki selalu bercita-cita agar kenikmatan yang dirasakan oleh orang lain
segera berakhir atau mencari celah-celah bagaimana menjatuhkan harga diri orang
yang didengkinya tersebut dengan cara apapun
Terapinya
Diantara terapinya –wallâhu a’lam- adalah:
- Mencari sebab hidayah sehingga hatinya tidak gelap lagi dan mudah mengambil pelajaran
- Mengetahui bahaya dan akibat dari perbuatan tersebut baik di dunia maupun di akhirat dengan belajar ilmu agama
- Meminta ma’af dan penghalalan kepada orang yang bersangkutan selagi masih hidup, bila hal ini tidak menimbulkan akibat yang lebih fatal seperti dia akan lebih marah dan tidak pernah mau menerima, dst. Maka sebagai gantinya, menurut ulama, adalah dengan mendoakan kebaikan untuknya
- Membaca riwayat-riwayat hidup dari orang-orang yang berbuat zhalim sebagai pelajaran dan i’tibar sebab kebanyakan kisah-kisah, terutama di dalam al-Qur’an yang harus kita ambil pelajarannya adalah mereka yang berbuat zhalim, baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang lain.
Kikir/Bakhil
Hadits tersebut (hadits kedua) memberikan
peringatan terhadap perbuatan kikir dan bakhil karena merupakan sebab binasanya
umat-umat terdahulu. Ketamakan terhadap harta menggiring mereka bertindak
sewenang-wenang terhadap harta orang lain sehingga terjadilah banyak peperangan
dan fitnah yang berakibat kebinasaan mereka dan penghalalan terhadap
isteri-isteri mereka. Kebinasaan seperti ini baru mereka alami di dunia .
Belum lagi di akhirat dimana
tindakan sewenang-wenang terhadap harta orang lain, terhadap isteri-isterinya
dan menumpahkan darahnya merupakan kezhaliman yang paling besar dan dosa yang
teramat besar. Perbuatan-perbuatan maksiat inilah yang merupakan sebab
kebinasaan di akhirat dan mendapat azab neraka.
Diantara Nash-Nash Yang Mencelanya
Banyak sekali nash-nash yang mencela dan mengecam
perbuatan kikir/bakhil, diantaranya:
- Firman Allah Ta’âla: “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q,.s.al-Hasyr/59: 9)
- Firman Allah Ta’âla : “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q,.s. Âli ‘Imrân/03: 180)]
- Firman Allah Ta’âla : “Dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri…”. (Q,.s. Muhammad/47: 38)
- Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad dan Imam at-Turmuzy di dalam kitabnya dari hadits Abu Bakar bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak masuk surga seorang yang bakhil”.
- Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Turmuzy dan an-Nasâ-iy dari hadits Abu Dzar bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah membenci tiga (orang): (1) orang yang sudah tua tetapi berzina, (2) orang yang bakhil/kikir yang selalu menyebut-nyebut pemberiannya, (3) dan orang yang musbil (memanjangkan pakaiannya hingga melewati mata kaki) yang sombong”.
Penyebab timbulnya
Sifat Bakhil merupakan penyakit yang disebabkan oleh dua hal:
Pertama, cinta terhadap hawa nafsu yang
sarananya adalah harta.
Kedua, cinta terhadap harta yang
diakibatkan oleh hawa nafsu, kemudian hawa nafsu dan semua hajatnya tersebut
terlupakan sehingga harta itu sendiri yang menjadi kekasih yang dicintainya.
Terapinya
Terapi yang dapat memadamkan hawa nafsu
tersebut diantaranya:
- Merasa puas dengan hidup yang serba sedikit
- Bersabar dan mengetahui secara yakin bahwasanya Allah Ta’âla adalah Maha Pemberi rizki
- Merenungi akibat dari perbuatan bakhil di dunia sebab tentu ada penyakit-penyakit yang sudah mengakar pada diri penghimpun harta sehingga tidak peduli dengan apapun yang terjadi terhadap dirinya.
Klasifikasi Prilaku Manusia Di Dunia
Prilaku manusia di dunia ini terdiri dari
tiga klasifikasi:
- Boros
- Taqshîr (Mengurang-ngurangi) alias Bakhil
- Ekonomis (berhemat/sedang-sedang saja)
Klasifikasi pertama dan kedua merupakan prilaku tercela sedangkan
klasifikasi ketiga adalah prilaku terpuji.
Klasifikasi pertama, Boros (isrâf) adalah tindakan yang
berlebih-lebihan di dalam membelanjakan harta baik yang bersifat dibolehkan
ataupun yang bersifat diharamkan; ini semua adalah keborosan yang amat dibenci.
Klasifikasi kedua, Taqshîr (mengurang-ngurangi) alias bakhil; orang
yang bersifat seperti ini suka mengurang-ngurangi pengeluaran baik yang
bersifat wajib ataupun yang dianjurkan yang sesungguhnya sesuai dengan tuntutan
‘murû-ah’ (harga diri).
Klasifikasi ketiga,
ekonomis dan sistematis; orang yang bersifat seperti ini di dalam membelanjakan
harta yang bersifat wajib yang terkait dengan hak-hak Allah dan makhluk
melakukannya dengan sebaik-baiknya; apakah itu pengeluaran-pengeluaran biasa
ataupun utang piutang yang wajib. Demikian pula, melakukan dengan
sebaik-baiknya pengeluaran yang bersifat dianjurkan yang sesuai dengan tuntutan
‘murû-ah’ (harga diri). Allah Ta’âla berfirman: “Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.
(Q,s.al-Furqân/25: 67)
Inilah yang merupakan salah satu kriteria dari sifat-sifat yang
dimiliki oleh ‘Ibâd ar-Rahmân (hamba-hamba Allah).
Wallahu a’lam. (Kamis, 27-07-1423 H= 3-10-2002 M)
DAFTAR PUSTAKA:
- ‘Abdul Bâqy, Muhammad Fuâd, al-Mu’jam al-Mufahris Li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm
- Mausû’ah al-Hadîts asy-Syarîf (CD)
- al-Bassâm, ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân, Taudlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, (Mekkah al-Mukarramah: Maktabah wa mathba’ah an-Nahdlah al-Hadîtsah, 1414 H), Cet. II
- ad-Dimasyqiy, al-Imâm al-Hâfizh al-Faqîh, Zainuddîn, Abi al-Faraj, ‘Abdurrahmân bin Syihâbuddîn al-Baghdâdiy, Ibnu Rajab, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam fî Syarh Khamsîna Hadîtsan Min Jawâmi’ al-Kalim, (Beirut: Muassasah ar-Risâlah, 1412 H), Cet. III, Juz. II
- ar-Râziy, Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abdul Qâdir, Mukhtâr ash-Shihâh, (Lebanon: al-Markaz al-‘Arabiy Li ats-Tsaqâfah wa al-‘Ulûm, tth)
- ad-Dimasyqiy, Abu al-Fidâ’, Ismâ’il bin Katsîr al-Qurasyiy, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Riyadl: Maktabah Dâr as-Salâm, 1414 H), Cet. I, Juz. VII
- al-Jazâ-iry, Abu Bakar, Jâbir, asy-Syaikh, Minhâj al-Muslim, (Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1419 H), Cet. VI
By : Anysource