Di
dalam hidup bermasyarakat, seorang Muslim perlu membawa diri dan menampakkan
akhlaq yang mulia sehingga menjadi contoh dan teladan yang baik bagi manusia.
Bila suatu ketika berpisah dengan masyarakat tersebut, maka kenangan yang
baiklah yang selalu mereka ingat dari dirinya.
Sebaliknya,
bila selama hidup bermasyarakat tersebut dia tidak bisa membawa diri dan
berprilaku sebagai seorang Muslim yang beriman bahkan selalu membuat masalah
dengan prilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka manakala berpisah
dengan lingkungan tersebut, hanya kenangan yang jeleklah yang selalu diingat
dari dirinya. Dan hal ini semua biasanya terus berlaku hingga seseorang itu
meninggalkan dunia yang fana ini.
Realita
yang berkembang di suatu komunitas masyarakat mendukung statement diatas. Kita
sering mendengar, misalnya, ada seorang yang kaya raya tetapi ta’at beragama
dan amat dermawan sehingga masyarakat di lingkungannya merasakan sekali
sentuhan tangan dan budi baiknya tersebut. Maka, bila suatu ketika orang
tersebut ditakdirkan oleh Allah mendapatkan kecelakaan lantas meninggal dunia.
Pastilah, yang akan kita dengar dari mulut mereka ungkapan yang menyayangkan
kenapa orang sebaik itu harus dipanggil oleh Allah secepat itu padahal
masyarakat masih membutuhkan uluran tangannya, dan seterusnya.
Demikian
pula, kita sering mendengar hal sebaliknya yaitu bila seseorang misalnya,
selalu membikin ulah di lingkungannya; menelantarkan keluarganya, merampok,
memeras, menakut-nakuti orang-orang lemah sehingga mereka merasa tidak aman
dengan kehadirannya. Maka, bila suatu ketika orang tersebut ditakdirkan oleh
Allah mendapat kecelakaan lantas meninggal dunia. Tentu, masyarakat di
sekitarnya akan merasa lega dan akan berkata di dalam hati mereka atau bahkan
berbincang-bincang antara sesama mereka bila bertemu dan berkumpul: “biar dia
rasakan bagaimana azab kubur nanti” “untung si jelek itu sudah mati” “memang
sudah pantas dia mampus” “biar nanti di neraka dia rasakan akibatnya”. Atau
barang kali yang lebih ekstrem lagi dan karena kebencian yang ingin
diluapkannya, bisa saja orang seperti ini mendatangi kuburannya sembari berkata
diatas kuburannya tersebut: “ayo rasakan sekarang pembalasannya, makanya jadi
orang jangan jahat” “ini aku disini, mau apa!” sambil menginjak-injak
kuburannya atau merusaknya.
Ekspresi
yang tampak pada contoh pertama, yaitu terhadap orang yang baik budi pekertinya
semasa masih hidup tersebut, secara agama tidak masalah dan tidak memiliki
implikasi apa-apa selama masih dalam batas kewajaran. Akan tetapi, ekspresi
yang ditampakkan di dalam contoh kedua, yaitu terhadap orang yang jelek budi
pekertinya semasa hidupnya, secara agama bermasalah dan memiliki
implikasi-implikasi.
Nah,
apakah hal itu dibolehkan menurut agama? Maka kajian hadits kali ini menyoroti
masalah tersebut secara singkat, semoga bermanfa’at. Wallaahu a'lam
NASKAH HADITS
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: «لاَ تَسُبُّوا اْلأَمْوَاتَ, فَإِنَّّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلىَ مَا قَدَّمُوْا».
رَوَاهُ اْلبُخَارِيّ
“Dari ‘Aisyah radhiallaahu 'anha, dia berkata: Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘ janganlah kalian mencela orang-orang
yang sudah mati, karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka
lakukan’ “. (H.R.al-Bukhâriy)
Beberapa Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari
Hadits Diatas
1. Hadits
diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang
yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin
dan orang-orang kafir juga.
Hikmah dari
pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits
tersebut, yaitu karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka
lakukan.
Maksudnya adalah
bahwa mereka telah mencapai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan baik
berupa perbuatan yang shalih atau sebaliknya.
2. Tidak
ada gunanya mencela, mencacimaki, menjelek-jelekkan kehormatan,
mengungkit-ungkit kejahatan dan perbuatan-perbuatan mereka sebab hal itu
terkadang berimplikasi terhadap keluarganya yang masih hidup, yaitu menyakiti
hati mereka.
Ibnu al-Atsîr
berkata di dalam kitabnya Usud al-Ghâbah : “Ketika ‘Ikrimah bin Abu Jahal masuk
Islam, banyak orang-orang yang berkata: ’wah!, ini adalah anak musuh Allah, Abu
Jahal’. Ucapan ini menyakiti hati ‘Ikrimah karenanya dia mengadukan perihal
tersebut kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam, lantas beliau
bersabda: “Janganlah kalian mencela ayahnya karena mencela orang yang sudah
mati, akan menyakiti orang yang masih hidup (keluarganya)”.
3.Imam
an-Nawawiy berkata: “Ketahuilah, bahwa ghibah (membicarakan kejelekan orang
lain ketika orangnya tidak ada di tempat) dibolehkan bila dimaksudkan untuk
tujuan yang benar dan disyari’atkan dimana tidak mungkin untuk ditempuh selain
dengan cara itu…”. Kemudian beliau menyebutkan: “diantaranya; untuk
memperingatkan kaum muslimin dari suatu kejahatan dan untuk menashihati mereka.
Hal ini dapat ditempuh melalui beberapa sisi, diantaranya (seperti di dalam
ilmu hadits-red); boleh men-jarh (mencacati) para periwayat dan para saksi yang
dikenal sebagai al-Majrûhîn (orang-orang yang dicacati karena riwayat
yang disampaikannya tidak sesuai dengan kriteria riwayat yang boleh diterima
baik dari sisi individunya, seperti hafalannya lemah, dan lain sebagainya-red);
maka, hal seperti ini secara ijma’ kaum Muslimin adalah dibolehkan bahkan wajib
hukumnya. Diantaranya lagi, dengan tujuan memperkenalkan seseorang bila dia
dikenal dengan julukan tertentu seperti al-A’masy (si picak), al-A’raj (si
pincang), al-Ashamm (si tuli), dan sebagainya. Sedangkan bila julukan itu
dilontarkan untuk tujuan merendahkan maka haram hukumnya. Oleh karena itu,
lebih baik lagi menghindari penggunaan julukan semacam itu sedapat mungkin”.
4.Di
dalam menyikapi orang-orang yang sudah mati, mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah
adalah bahwa kita berharap agar orang yang berbuat baik dari mereka diberi
ganjaran pahala oleh Allah, dirahmati dan tidak disiksa olehNya. Sedangkan
terhadap orang yang berbuat buruk, kita mengkhawatirkan dirinya disiksa karena
dosa-dosa dan keburukan yang diperbuatnya. Kita juga tidak bersaksi terhadap
seseorang bahwa dia ahli surga atau ahli neraka kecuali orang yang sudah
dipersaksikan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan hal itu.
Diharamkan berburuk
sangka terhadap seorang Muslim yang secara lahirnya adalah lurus, berbeda
dengan orang yang secara lahirnya memang fasiq maka tidak berdosa bila berburuk
sangka terhadapnya.
(Materi bahasan
hadits diambil dari kitab “Taudlîh al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm”
karya Syaikh. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Juz VI, hal. 346,
hadits no. 1312)
By : Anysource